Makna Yang Terkandung Dari Syair
Lagu "SLUKU-SLUKU BATHOK"
Sluku-sluku bathok
Bathoke ela-elo
Si Rama menyang Sala
Oleh-olehe payung motha
Mak jenthit lolo lobah
Wong mati ora obah
Nek obah medeni bocah
Nek urip goleka dhuwit.
Begitulah
bunyi atau syair yang terdapat lagu "SLUKU-SLUKU BATHOK" kalo di
lihat dari syairnya secara kata per kata hanya sekedar guyonan atau cuma
kata-kata yang sering dijumpai di kehidupan sehari-hari, akan tetapi makna yang
terkandung di dalamnya terdapat suatu ajaran yang sangat dalam sebagai petunjuk
bagi kita semua untuk selalu ingat kepada yang Maha Kuasa (Allah SWT). Berikut
ini artikel tentang makna yang terkandung di dalam lagu Sluku-Sluku Bathok di
alamat : http://edisi17.blogspot.com/2008/08/sluku-sluku-bathok.html seperti
berikut ini:
“SLUKU-SLUKU
BATHOK”
Hidup
bermasyarakat dapat diibaratkan dengan lalulintas, dimana masing—masing pribadi
berkeinginan sampai ke tujuan dengan cepat dan selamat. Karena itu demi
keselamatan perjalanan diperlukan adanya peraturan lalulintas atau rambu-rambu
lalulintas.
Dalam rangka
peraturan lalulintas kehidupan, Allah menetapkan peraturan-peratuan karena
Allah lah yang paling mengenal manusia, sekaligus Allah tidak memiliki
kepentingan atau pamrih. Karena itu, agama diterjemahkan antara lain, sebagai
“peraturan-peraturan Ilahi yang mengantarkan manusia menuju kebahagiaan dunia
dan akhirat”.
Setiap orang
yang beriman harus menyadari betapa pentingnya rambu-rambu kehidupan dan betapa
agama mengantar manusia menelusuri jalan dengan aman dan selamat hingga sampai
ke tujuan. Melewati jalur “Shirathal Mustaqim” ada-ada saja hambatan dan
kesulitan yang dihadapi setiap manusia. Namun, setelah berjalan beberapa saat
pasti yang ditemui dan dirasakan adalah kemudahan dan kenyamanan.
Itulah
sebabnya Rasul silih berganti diutus-Nya, dan Rasul terakhir diberi mandat
oleh-Nya yang bersifat global agar perincian peraturan dapat ditetapkan oleh
manusia, sekaligus sejalan dengan petunjuk global tersebut. Petunjuk
pelaksanaan disertai petunjuk teknis.
Para
mubaligh tempo dulu era para wali sangat populer metode dakwah yang diterapkan
melalui media kultural, seni dan budaya dapat dijadikan sebagai referensi bagi
para pemerthati masalah-masalah agama, sosial dan budaya. Salah satu contoh
adalah tembang atau kekidungan sebagai berikut :
Sluku-sluku
bathok
Bathoke
ela-elo
Si Rama
menyang Sala
Oleh-olehe
payung motha
Mak jenthit
lolo lobah
Wong mati
ora obah
Nek obah
medeni bocah
Nek urip
goleka dhuwit.
Sluku-sluku
bathok, Bathoke ela-elo : berasal dari Bahasa Arab : Ghuslu-ghuslu bathnaka,
artinya mandikanlah batinmu. Membersihkan batin dulu sebelum membersihkan badan
atau raga. Sebab lebih mudah membersihkan badan dibandingkan membersihkan batin
atau jiwa. Dalam lagu Indonesia Raya juga mendahulukan jiwa lebih dulu :
Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya ...
Bathoke
ela-elo : batine La Ilaha Illallah : maksudnya hatinya senantiasa berdzikir
kepada Allah, diwaktu senang apalagi susah, dikala menerima nikmat maupun
musibah, sebab setiap persitiwa yang dialami manusia, pasti mengandung hikmah.
Si Rama
menyang Solo : Mandilah, bersucilah, kemudian kerjakanlah shalat. Allah
menciptakan Jin dan manusia tidak lain adalah agar supaya menyembah,
menghambakan diri kepada-Nya. Menyadari betapa besarnya anugerah dan jasa yang
telah diperoleh manusia dan betapa bijaksana Allah dalam segala ketetapan dan
pekerjaan-Nya. Kesadaran ini dapat mendorong seorang hamba untuk beribadah
kepada Allah sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat yang telah diterima.
Manusia sendirilah yang akan memperoleh manfaat ibadah yang dilakukannya.
Oleh-oleh
payung motha : Lailaha Illalah hayyun mauta : dzikir pada Allah mumpung masih
hidup, bertaubat sebelum datangnya maut. Manusia hidup di alam dunia tidak
sekedar memburu kepentingan duniawi saja, tetapi harus seimbang dengan
urusan-urusan ukhrowi. Kesadaran akan hidup yang kekal di akhirat, menumbuhkan
semangat untuk mencari bekal yang diperlukan.
Mak jentit
lolo lobah wong mati ora obah, nek obah medeni bocah, nek urip golekka dhuwit :
Kalau sudah sampai saatnya, mati itu sak jenthitan selesai, habis itu tidak
bergerak. Walau ketika hidup sebagai raja diraja, sugih banda-bandhu, mukti
wibawa, ketika mati tidak ada yang dibawa. Ketika masih hidup supaya berkarya,
giat berusaha.
Demikian,
kilas balik rekaman masa kanak-kanak ketika ngaji di surau. Jethungan, gebak
sodor, jamuran dan model-model permainan lainya, penuh simbol menuju kesadaran
beragama. Dengan sarana-prasarana serta serta fasilitas yang murah-meriah,
pesan-pesan moral dapat terserap di hati masyarakat.
Dakwah
keagamaan dalam perkembangannya telah mengalami berbagai perubahan bentuk cara
dan penekanan. Dahulu pemaparan ajaran agama dititik beratkan pada usaha
mengaitkan ajaran-ajarannya dengan alam metafisika, sehingga surga, neraka,
nilai pahala dan beratnya siksaan mewarnai hampir setiap ajakan keagamaan.
Dalam zaman
perkembangan IPTEK sekarang ini aktivitas keagamaan pada umumnya dimaknai oleh
usaha menghubungkan antara ajaran agama dan pembangunan masyarakat. Ajaran
agama diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk lebih berpartisipasi dalam
pembangunan dalam arti luas sambil membentengi penganut-penganutnya dari segala
macam dampak negatif yang mungkin terjadi akibat kemajuan IPTEK, akibat
pembangunan.
Tembang
sluku-sluku bathok sekedar contoh bagaimana para mubaligh tempo dulu
menyampaikan pesan-pesan ajaran agama yang dikemas sedemikian rupa sehingga
terkesan di hati. Rupanya, kita masih harus banyak belajar memilih dan memilah
materi dakwah. Kalau tidak, mungkin diam lebih bermanfaat daripada bicara.
Mudah-mudahan
kita semua bisa menerapkan dan mengamalkan makna dari syair di dalam lagu
"SLUKU-SLUKU BATHOK". Bukan hanya untuk sekedar lagu dolanan, akan
tetapi merupakan keadaan yang harus dilakukan setiap manusia di bumi agar
selalu dekat dengan Sang Maha Pencipta (Allah SWT).
No comments:
Post a Comment