Dosen
Pembimbing : Bpk.
Disusun Oleh:
Chaerunisa (10620086)
Dwi Susilowati (10620060)
Emi Fatmawati (10620047)
Heka
Rosita (11620015)
Mega
Maskasari (10620012)
Santo Suwandi (10620059)
FAKULTAS
EKONOMI - MANAJEMEN
UNIVERSITAS
BOROBUDUR
JL. Raya
Kalimalang No. 1
Jakarta Timur
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat-Nya kepada kita semua,
sehingga kami bisa menyelesaikan tugas mata kuliah kebudayaan ini.
Dalam menyusun makalah yang berjudul “Suku Toraja” ini
kami menemukan banyak hambatan diantaranya proses pencarian bahan dan prosedur
penyusunannya.
Harapan kami makalah ini bermanfaat bagi kami khususnya
dan bagi mahasiswa dan masyarakat umumnya. Kami sadar makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan, karena itu kami menerima kritik dan saran yang membangun
dari pihak manapun.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
1.2.Rumusan Masalah
1.3.Tujuan Penulisan
BAB II. SUKU TORAJA
2.1. Identitass Etnis
2.2. Sejarah
2.3. Masyarakat
2.3.1. Keluarga
2.3.2. Kelas Sosial
2.3.3. Agama
2.4. Kebudayaan
2.4.1. Tongkonan
2.4.2. Ukiran Kayu
2.4.3. Upacara Pemakaman
2.4.4. Musik dan Tarian
2.5. Bahasa
2.6. Ekonomi
2.7. Komersialisasi
2.8. Filosofi Tau
BAB III. PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I. PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Masalah
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan
bagian utara Sulawesi
Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1
juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten
Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa.Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen,
sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme
yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui
kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Kata toraja berasal dari
bahasa Bugis,
to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah
kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909.
Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan
dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang
penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa
hari.
Sebelum abad ke-20, suku Toraja
tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum
tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda
datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia
luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja
dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog.Masyarakat
Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat
berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas
beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata
yang terus meningkat.
|
|
1.2.Rumusan Masalah
-
Dimanakah
Suku Toraja Menetap?
-
Bagaimana
Sejarah Keberadaan Suku Toraja?
-
Bagaimana
Kebudayaan Mereka?
1.3.Tujuan
Penulisan
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk mengupas kebudayaan di Tana
Toraja dan sebagai syarat kelulusan tugas mata kuliah Kebudayaan Indonesia.
BAB II. SUKU TORAJA
2.1. Identitass Etnis
Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas
mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan
Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah
dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai
kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara
desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai
praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi.
"Toraja" (dari bahasa pesisir ke, yang berarti orang, dan Riaja,
dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah
untuk penduduk dataran tinggi.Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih
banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar seperti suku Bugis dan suku Makassar, yang menghuni sebagian besar dataran
rendah di Sulawesi daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris
Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah
Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di
Tana Toraja.Sejak
itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama suku Bugis
(kaum mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang
dan pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku
Toraja (petani di dataran tinggi).
2.2. Sejarah
Letak Toraja (hijau) di antara Makassar
(kuning) dan Bugis (merah).
Dulu ada yang mengira bahwa Teluk Tonkin,
terletak antara Vietnam
utara dan Cina
selatan, adalah tempat asal suku Toraja. Sebetulnya, orang Toraja hanya salah
satu kelompok
penuture bahasa Austronesia. Awalnya, imigran
tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran
tinggi.
Sejak abad ke-17, Belanda mulai
menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie
(VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi
tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki
sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir
terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar
dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target
yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama
Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda.Selain
menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak
daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana
Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu
yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana
Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu
kabupaten pada tahun 1957.
Misionaris Belanda yang baru datang
mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan
yang menguntungkan Toraja.Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran
rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada
tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit
masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak
budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen.Pada
tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.
Penduduk Muslim di dataran rendah
menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin
beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan
politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis
dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah
kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat
pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam,
yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya
yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak
orang Toraja berpindah ke agama Kristen.
Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden
mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima
agama yang diakui: Islam,
Kristen Protestan,
Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui
secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat
aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah
satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai
bagian dari Agama Hindu Dharma.
2.3. Masyarakat
2.3.1. Keluarga
Sebuah perkampungan suku Toraja
Keluarga adalah kelompok sosial dan
politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar.
Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga
ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat
dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.Suku Toraja melarang
pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk
bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan berlangsung
secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam
pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.
Setiap orang menjadi anggota dari
keluarga ibu dan ayahnya.Anak, dengan demikian, mewarisi
berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga.
Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan
nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya
disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah
kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya
sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa
menangani masalah mereka sendiri, beberapa desabiasanya membentuk kelompok; kadang-kadang,
bebrapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain Hubungan antara keluarga
diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan),
secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual.
Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar
keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial:
siapa yang menuangkan tuak,
siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang
boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau dihindari,
dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang.
2.3.2. Kelas Sosial
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan
keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial.
Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan,
orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia
Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan
untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk
menikahi perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk
meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan
terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan
martabat keluarga.
Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai
keturunan dari surga, tinggal di tongkonan, sementara
rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua).
Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan
mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya
melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka.
Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun
didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial
yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan
atau perubahan jumlah kekayaan.Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang
dimiliki.
Budak dalam masyarakat Toraja merupakan
properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena
terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa
saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan
mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak
diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama dengan
tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka.
Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.
2.3.3. Agama
Sistem kepercayaan tradisional suku
Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang
diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang
Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh
suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta.
Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia
manusia (bumi), dan dunia bawah.Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan
menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di
dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang
dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak
di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong
Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong
Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan
lainnya.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan
tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian
maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk).
Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari
hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat,
praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda
antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan
bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa
ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan
ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris
dari Belanda,
orang Kristen
Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi
diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian masih sering
dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang
dilaksanakan.
2.4. Kebudayaan
2.4.1. Tongkonan
Tiga tongkonan di desa Toraja.
Tongkonan adalah rumah tradisional
Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna
merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja
tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat kehidupan
sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting
dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga
diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan
leluhur mereka.Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di
surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru
rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan
yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga
jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang
digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah
milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal
sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum
bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang
mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah
memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
2.4.2. Ukiran Kayu
Ukiran kayu Toraja: setiap panel
melambangkan niat baik.
Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak
memiliki sistem tulisan.Untuk menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku
Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau
"tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya
Toraja.
Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman
yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan
seperti kepiting
dan kecebong
yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran kayu
Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau
kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel
tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan
keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang
tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas
melambangkan hewan
air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak
cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini
juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan
hasil yang baik.
Keteraturan dan ketertiban merupakan
ciri umum dalam ukiran kayu Toraja (lihat desain tabel di bawah), selain itu
ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai
dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang
teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan
tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran
ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat
oranamen geometris.
Beberapa
motif ukiran Toraja
|
|||
pa'tedong
(kerbau) |
pa'barre allo
(matahari) |
pa're'po' sanguba
(menari) |
ne'limbongan
(perancang legendaris) |
2.4.3. Upacara Pemakaman
Tempat penguburan Toraja yang diukir.
Dalam masyarakat Toraja, upacara
pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya
dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal.
Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan
yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang
bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa
hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya
disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat
yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman
lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian,
lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang
dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman
anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah
berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang
bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan
cukup uang
untuk menutupi biaya pemakaman.Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah
sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang
bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat).
Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di
bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai
upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Sebuah makam.
Bagian lain dari pemakaman adalah
penyembelihan kerbau.
Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih.
Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di
padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku
Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan
akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan
puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan
tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang.
Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu
akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati
dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang
kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal
dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu
digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang
disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti
mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut
biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
2.4.4. Musik dan Tarian
Suku Toraja melakukan tarian dalam
beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk
menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah
almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat.
Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu
sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong).Ritual
tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman. Pada
hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk
memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan
tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan
berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika
jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman.
Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil
bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan
untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah
penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk
tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.
Tarian Manganda' ditampilkan pada
ritual Ma'Bua'.
Seperti di masyarakat agraris lainnya,
suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi
dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi
ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras Ada beberapa tarian
perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian
diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan
dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua
hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang
penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling
pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling
berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan,
ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak
berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik
lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan
ketika upacara pembukaan rumah.
2.5. Bahasa
Bahasa Toraja adalah bahasa yang
dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan
tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar
di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang,
Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan,
dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia
dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana
Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri.
Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja
menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi,
yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari
keragaman dalam bahasa Toraja.
Keragaman
dalam bahasa Toraja
|
||
Denominasi
|
Populasi
(pada
tahun)
|
Dialek
|
Kalumpang
|
12,000
(1991)
|
Karataun,
Mablei, Mangki (E'da), Bone Hau (Ta'da).
|
Mamasa
|
100,000
(1991)
|
Mamasa
Utara, Mamasa tengah, Pattae' (Mamasa Selatan, Patta' Binuang, Binuang, Tae',
Binuang-Paki-Batetanga-Anteapi)
|
Ta'e
|
250,000
(1992)
|
Rongkong,
Luwu Timur Laut, Luwu Selatan, Bua.
|
Talondo'
|
500
(1986)
|
|
Toala'
|
30,000
(1983)
|
Toala',
Palili'.
|
Torajan
Sa'dan
|
500,000
(1990)
|
Makale
(Tallulembangna), Rantepao (Kesu'), Toraja Barat (Toraja Barat, Mappa-Pana).
|
Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja
adalah gagasan tentang duka cita kematian. Pentingnya upacara kematian di Toraja
telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan duka cita dan proses
berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit.Bahasa Toraja mempunyai banyak
istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental.
Merupakan suatu katarsis
bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari
peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk
mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.
2.6. Ekonomi
Sebelum masa Orde Baru,
ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di
lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong
dan jagung.
Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan
terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan. Satu-satunya industri
pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.
Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun
1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi asing.
Banyak perusahaan minyak dan pertambangan Multinasional membuka usaha baru di
Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah
untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan
untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi
dan Jawa.
Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.
Ekonomi Toraja secara bertahap beralih
menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997,
masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu
wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan
politik dan ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di
Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis. Toraja
lalu dkenal sebagai tempat asal dari kopi Indonesia. Kopi Arabika ini terutama dijalankan
oleh pengusaha kecil.
2.7. Komersialisasi
Makam suku Toraja di tebing tinggi berbatu
adalah salah satu tempat wisata di Tana Toraja.
Sebelum tahun 1970-an, Toraja hampir
tidak dikenal oleh wisatawan barat. Pada tahun 1971, sekitar 50 orang Eropa
mengunjungi Tana Toraja. Pada 1972, sedikitnya 400 orang turis menghadiri
upacara pemakaman Puang dari Sangalla, bangsawan
tertinggi di Tana Toraja dan bangsawan Toraja terakhir yang berdarah murni.
Peristiwa tersebut didokumentasikan oleh National Geographic dan disiarkan di
beberapa negara Eropa.Pada 1976, sekitar 12,000 wisatawan mengunjungi Toraja
dan pada 1981, seni patung Toraja dipamerkan di banyak museum
di Amerika Utara. "Tanah raja-raja surgawi di Toraja", seperti yang
tertulis di brosur pameran, telah menarik minat dunia luar..
Pada tahun 1984, Kementerian
Pariwisata Indonesia menyatakan Kabupaten Toraja sebagai primadona
Sulawesi Selatan. Tana Toraja dipromosikan sebagai
"perhentian kedua setelah Bali".Pariwisata menjadi sangat meningkat: menjelang
tahun 1985, terdapat 150.000 wisatawan asing yang mengunjungi Tana Toraja
(selain 80.000 turis domestik),dan jumlah pengunjung asing tahunan tercatat
sebanyak 40.000 orang pada tahun 1989. Suvenir dijual di Rantepao, pusat
kebudayaan Toraja, banyak hotel dan restoran wisata yang dibuka, selain itu
dibuat sebuah lapangan udara baru pada tahun 1981.
Para pengembang pariwisata menjadikan
Toraja sebagai daerah petualangan yang eksotis, memiliki kekayaan budaya dan
terpencil. Wisatawan Barat dianjurkan untuk mengunjungi desa zaman batu
dan pemakaman purbakala. Toraja adalah tempat bagi
wisatawan yang telah mengunjungi Bali dan ingin melihat pulau-pulau lain yang liar dan
"belum tersentuh". Tetapi suku Toraja merasa bahwa tongkonan
dan berbagai ritual Toraja lainnya telah dijadikan sarana mengeruk keuntungan,
dan mengeluh bahwa hal tersebut terlalu dikomersilkan. Hal ini berakibat pada
beberapa bentrokan antara masyarakat Toraja dan pengembang pariwisata, yang
dianggap sebagai orang luar oleh suku Toraja.
Bentrokan antara para pemimpin lokal
Toraja dan pemerintah Provinsi Sulawesi
Selatan (sebagai pengembang wisata) terjadi pada tahun 1985.
Pemerintah menjadikan 18 desa Toraja dan tempat pemakaman tradisional sebagai
"objek wisata". Akibatnya, beberapa pembatasan diterapkan pada
daerah-daerah tersebut, misalnya orang Toraja dilarang mengubah tongkonan dan
tempat pemakaman mereka. Hal tersebut ditentang oleh beberapa pemuka masyarakat
Toraja, karena mereka merasa bahwa ritual dan tradisi mereka telah ditentukan
oleh pihak luar. Akibatnya, pada tahun 1987 desa Kete Kesu dan beberapa desa
lainnya yang ditunjuk sebagai "objek wisata" menutup pintu mereka
dari wisatawan. Namun penutupan ini hanya berlangsung beberapa hari saja karena
penduduk desa merasa sulit bertahan hidup tanpa pendapatan dari penjualan
suvenir.
Pariwisata juga turut mengubah
masyarakat Toraja. Dahulu terdapat sebuah ritual yang memungkinkan rakyat biasa
untuk menikahi bangsawan (Puang), dan dengan demikian anak mereka akan
mendapatkan gelar bangsawan. Namun, citra masyarakat Toraja yang diciptakan
untuk para wisatawan telah mengikis hirarki tradisionalnya yang ketat, sehingga
status kehormatan tidak lagi dipandang seperti sebelumnya. Banyak laki-laki
biasa dapat saja menyatakan diri dan anak-anak mereka sebagai bangsawan, dengan
cara memperoleh kekayaan yang cukup lalu menikahi perempuan bangsawan.
2.8. Filosofi Tau
Secara sadar atau tidak sadar, masyarakat toraja hidup
dan tumbuh dalam sebuah tatanan masyarakat yang menganut filosofi tau. Filosofi
tau dibutuhkan sebagai pegangan dan arah menjadi manusia (manusia="tau"
dalam bahasa toraja) sesungguhnya dalam konteks masyarakat toraja. Filosofi tau
memiliki empat pilar utama yang mengharuskan setiap masyarakat toraja untuk
menggapainya, antara lain: - Sugi' (Kaya) - Barani (Berani) - Manarang (Pintar)
- Kinawa (memiliki nilai-nilai luhur, agamis, bijaksana) Keempat pilar di atas
tidak dapat di tafsirkan secara bebas karena memiliki makna yang lebih dalam
daripada pemahaman kata secara bebas. Seorang toraja menjadi manusia yang
sesungguhnya ketika dia telah memiliki dan hidup sebagai Tau.
BAB III. PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Suku Toraja merupakan
salah satu suku yang masih hidup di dunia semi modern. Mereka hidup dengan
masih mempertahankan kebudayaan yang diwariskan oleh nenek moyangnya.
Meskipun demikian bebrapa
dari golongan mereka sudah ada yang mulai menerima kemajuan teknologi dan
modernisasi. Terbukti dengan diterimanya agama lain selain agama nenek moyang.
3.2. Saran
Meskipun beberapa
kebudayaan di negara kita banyak mempunyai pertentangan dengan agama maupun
hukkum negara, namun kebudayaan itu harus tetap kita jaga dan lestarikan.
Karena kebudayaan itu sendiri merupakan salah satu ciri khas bangsa Indonesia
yang mampu membawa nama bangsa kita di mata dunia.
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment