A.
R E S U M E
A R T I K E L
Serikat Pekerja Somasi Pemkab
Banyuwangi
Penulis : Siwi Yunita
Cahyaningrum | Selasa, 24 Januari 2012
| 13:39 WIB
BANYUWANGI, KOMPAS.com —
Gerakan Buruh dan Rakyat untuk Keadilan (Gebrak) menyomasi Pemerintah Kabupaten
Banyuwangi karena merekrut pekerja kontrak dan outsourcing dengan upah di bawah
UMR.
Muhammad Helmi Rosyadi, Koordinator Gebrak, Selasa
(24/1/2012), mengatakan, Pemkab Banyuwangi melanggar Pasal 90 Ayat (1) UU Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juncto Peraturan Gubernur Jawa Timur
Nomor 81 Tahun 2011 tentang Upah Minimum Kabupaten Kota 2012.
Para pekerja yang berjumlah 554 itu hanya dibayar Rp
500.000 per bulan. Sebanyak 456 ditempatkan sebagai tenaga kebersihan dan 98
orang sebagai Satpol PP.
"Ini merugikan kaum buruh seperti kami.
Seharusnya pemkab memberi upah sesuai UMR yang berlaku yakni Rp 915.000
sebulan," katanya.
Menurut Helmi, jika tak segera memenuhi tuntutan itu,
pihaknya akan menggugat pemkab ke Pengadilan Negeri Banyuwangi atas perbuatan
melawan hukum.
Editor :
Robert Adhi Ksp
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana Pengaturan
Outsourcing dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan?
2.
Bagaimana Penentuan
Pekerjaan Utama (Core Business) dan Pekerjaan Penunjang (Non Core
Business) dalam Perusahaan sebagai Dasar Pelaksanaan Outsourcing?
3.
Apa sajakah
bentuk-bentuk perjanjian dalam Outsourcing?
4.
Hubungan Hukum
seperti apa yang ada antara Karyawan Outsourcing dengan Perusahaan Pengguna
Outsourcing?
5.
Bagaimana penyelesaian
Perselisihan dalam Outsourcing?
C. ANALISA
I. Pendahuluan
Persaingan dalam dunia bisnis antar
perusahaan membuat perusahaan harus berkonsentrasi pada rangkaian proses atau
aktivitas penciptaan produk dan jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Dengan
adanya konsentrasi terhadap kompetensi utama dari perusahaan, akan dihasilkan
sejumlah produk dan jasa memiliki kualitas yang memiliki daya saing di pasaran.
Dalam iklim persaingan usaha yang
makin ketat, perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost
of production). Salah satu solusinya adalah dengan sistem outsourcing,
dimana dengan sistem ini perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai
sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Outsourcing diartikan
sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan
penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses
administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah
disepakati oleh para pihak.
Outsourcing dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai
pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja. pengaturan hukum outsourcing di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (pasal 64, 65 dan 66) dan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia
No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan
Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (Kepmen 101/2004).Pengaturan tentang outsourcing(Alih
Daya) ini sendiri masih dianggap pemerintah kurang lengkap.
Dalam Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang
paket Kebijakan Iklim Investasi disebutkan bahwa outsourcing sebagai
salah satu faktor yang harus diperhatikan dengan serius dalam menarik iklim
investasi ke Indonesia. Bentuk keseriusan pemerintah tersebut dengan menugaskan
menteri tenaga kerja untuk membuat draft revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Outsourcing tidak dapat dipandang secara
jangka pendek saja, dengan menggunakan outsourcing perusahaan pasti akan
mengeluarkan dana lebih sebagai management fee perusahaan
outsourcing. Outsourcing harus dipandang secara jangka panjang, mulai dari
pengembangan karir karyawan, efisiensi dalam bidang tenaga kerja, organisasi,
benefit dan lainnya. Perusahaan dapat fokus pada kompetensi utamanya dalam
bisnis sehingga dapat berkompetisi dalam pasar, dimana hal-hal intern
perusahaan yang bersifat penunjang (supporting) dialihkan kepada pihak lain
yang lebih profesional. Pada pelaksanaannya, pengalihan ini juga menimbulkan
beberapa permasalahan terutama masalah ketenagakerjaan.
Problematika mengenai outsourcing
memang cukup bervariasi. Hal ini dikarenakan penggunaan outsourcing dalam dunia
usaha di Indonesia kini semakin marak dan telah menjadi kebutuhan yang tidak
dapat ditunda-tunda oleh pelaku usaha, sementara regulasi yang ada belum
terlalu memadai untuk tentang outsourcing yang telah berjalan tersebut. Secara
garis besar permasalahan hukum yang terkait dengan penerapan outsourcing di
Indonesia sebagai berikut:
1. Bagaimana perusahaan melakukan klasifikasi terhadap pekerjaan utama (core
business) dan pekerjaan penunjang perusahaan (non core bussiness)
yang merupakan dasar dari pelaksanaan outsourcing?
2. Bagaimana hubungan hukum antara karyawan outsourcing dan perusahaan
pengguna jasa outsourcing?
3. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa bila ada karyawan outsource yang
melanggar aturan kerja pada lokasi perusahaan pemberi kerja?
II.
Definisi Outsourcing
Dalam pengertian umum, istilah
outsourcing diartikan sebagai contract (work) out seperti yang tercantum
dalam Concise Oxford Dictionary, sementara mengenai kontrak itu
sendiri diartikan sebagai berikut:
“ Contract to enter into or make a contract.
From the latin contractus, the past participle of contrahere, to draw together,
bring about or enter into an agreement.” (Webster’s English Dictionary)
Pengertian outsourcing secara khusus
didefinisikan oleh Maurice F Greaver II, pada bukunya Strategic
Outsourcing, A Structured Approach to Outsourcing: Decisions and Initiatives,
dijabarkan sebagai berikut :
“Strategic use of outside parties to
perform activities, traditionally handled by internal staff and respurces.”
Menurut definisi Maurice Greaver,
Outsourcing dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa aktivitas
perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside
provider), dimana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak kerjasama
Beberapa pakar serta praktisi
outsourcing dari Indonesia juga memberikan definisi mengenai outsourcing,
antara lain menyebutkan bahwa outsourcing dalam bahasa Indonesia disebut
sebagai alih daya, adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu
proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan jasa outsourcing). Pendapat serupa
juga dikemukakan oleh Muzni Tambusai, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan
Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang mendefinisikan
pengertian outsourcing sebagai memborongkan satu bagian atau beberapa bagian
kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang
kemudian disebut sebagai penerima pekerjaan.
Dari beberapa definisi yang
dikemukakan di atas, terdapat persamaan dalam memandang outsourcing yaitu
terdapat penyerahan sebagian kegiatan perusahaan pada pihak lain.
III. Pengaturan Outsourcing dalam Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
UU No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan sebagai dasar hukum diberlakukannya outsourcing di Indonesia,
membagi outsourcing menjadi dua bagian, yaitu:
Pemborongan pekerjaan dan penyediaan
jasa pekerja/buruh. Pada perkembangannya dalam draft revisi Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan outsourcing mengenai pemborongan
pekerjaan dihapuskan, karena lebih condong ke arah sub contracting pekerjaan
dibandingkan dengan tenaga kerja.
Untuk mengkaji hubungan hukum antara
karyawan outsourcing dengan perusahaan pemberi pekerjaan, akan diuraikan
terlebih dahulu secara garis besar pengaturan outsourcing dalam UU No.13 tahun
2003.
Dalam UU No.13/2003, yang menyangkut
outsourcing adalah pasal 64, pasal 65 (terdiri dari 9 ayat), dan pasal 66
(terdiri dari 4 ayat).
Pasal 64 adalah dasar dibolehkannya
outsourcing. Dalam pasal 64 dinyatakan bahwa: Perusahaan dapat menyerahkan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara
tertulis.”
Pasal 65 memuat beberapa ketentuan
diantaranya adalah:
·
penyerahan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan yang dibuat secara tertulis (ayat 1);
·
pekerjaan yang diserahkan pada pihak
lain, seperti yang dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
- dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama
- dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi
pekerjaan
- merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan
- tidak menghambat proses produksi secara langsung. (ayat 2)
·
perusahaan lain (yang diserahkan
pekerjaan) harus berbentuk badan hukum (ayat 3);
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan lain sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangan (ayat 4);
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan lain sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangan (ayat 4);
·
perubahan atau penambahan syarat-syarat
tersebut diatas diatur lebih lanjut dalam keputusan menteri (ayat 5);
·
hubungan kerja dalam pelaksanaan
pekerjaan diatur dalam perjanjian tertulis antara perusahaan lain dan pekerja
yang dipekerjakannya (ayat 6)
·
hubungan kerja antara perusahaan lain
dengan pekerja/buruh dapat didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau
perjanjian kerja waktu tidak tertentu (ayat 7);
·
bila beberapa syarat tidak terpenuhi,
antara lain, syarat-syarat mengenai pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain,
dan syarat yang menentukan bahwa perusahaan lain itu harus berbadan hukum, maka
hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa tenaga
kerja beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan
pemberi pekerjaan (ayat 8).
Pasal 66 UU Nomor 13 tahun 2003 mengatur
bahwa pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak boleh
digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan
yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa
penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Perusahaan
penyedia jasa untuk tenaga kerja yang tidak berhubungan langsung dengan proses
produksi juga harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:
·
adanya hubungan kerja antara pekerja
dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja
·
perjanjian kerja yang berlaku antara
pekerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja adalah perjanjian kerja untuk
waktu tertentu atau tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani
kedua belah pihak
·
perlindungan upah, kesejahteraan,
syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
·
perjanjian antara perusahaan pengguna
jasa pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara
tertulis.
Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan
bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Dalam hal syarat-syarat
diatas tidak terpenuhi (kecuali mengenai ketentuan perlindungan kesejahteraan),
maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh
dan perusahaan pemberi pekerjaan.
IV. Penentuan Pekerjaan Utama (Core Business)
dan Pekerjaan Penunjang (Non Core Business) dalam Perusahaan sebagai
Dasar Pelaksanaan Outsourcing
Berdasarkan pasal 66 UU No.13 Tahun
2003 outsourcing dibolehkan hanya untuk kegiatan penunjang, dan kegiatan yang
tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
R.Djokopranoto dalam materi seminarnya menyampaikan bahwa :
“Dalam teks UU no 13/2003 tersebut
disebut dan dibedakan antara usaha atau kegiatan pokok dan kegiatan penunjang.
Ada persamaan pokok antara bunyi UU tersebut dengan praktek industri, yaitu
bahwa yang di outsource umumnya (tidak semuanya) adalah kegiatan penunjang (non
core business), sedangkan kegiatan pokok (core business) pada umumnya (tidak
semuanya) tetap dilakukan oleh perusahaan sendiri. Namun ada potensi masalah
yang timbul. Potensi masalah yang timbul adalah apakah pembuat dan penegak
undang-undang di satu pihak dan para pengusaha dan industriawan di lain pihak
mempunyai pengertian dan interpretasi yang sama mengenai istilah-istilah
tersebut.”
Kesamaan interpretasi ini penting
karena berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan outsourcing hanya dibolehkan
jika tidak menyangkut core business. Dalam penjelasan pasal 66 UU No.13 tahun
2003, disebutkan bahwa :
”Yang dimaksud dengan kegiatan
penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi
adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu
perusahaan.Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning
service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga
pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan
perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.”
Interpretasi yang diberikan
undang-undang masih sangat terbatas dibandingkan dengan kebutuhan dunia usaha
saat ini dimana penggunaan outsourcing semakin meluas ke berbagai lini kegiatan
perusahaan.
Konsep dan pengertian usaha pokok
atau core business dan kegiatan penunjang atau non core business adalah konsep
yang berubah dan berkembang secara dinamis. Oleh karena itu tidak heran
kalau Alexander dan Young (1996) mengatakan bahwa ada empat pengertian yang
dihubungkan dengan core activity atau core business.
Keempat pengertian itu ialah :
·
Kegiatan yang secara tradisional
dilakukan di dalam perusahaan.
·
Kegiatan yang bersifat kritis
terhadap kinerja bisnis.
·
Kegiatan yang menciptakan keunggulan
kompetitif baik sekarang maupun di waktu yang akan datang.
·
Kegiatan yang akan mendorong
pengembangan yang akan datang, inovasi, atau peremajaan kembali.
Interpretasi kegiatan penunjang yang
tercantum dalam penjelasan UU No.13 tahun 2003 condong pada definisi yang
pertama, dimana outsourcing dicontohkan dengan aktivitas berupa pengontrakan
biasa untuk memudahkan pekerjaan dan menghindarkan masalah tenaga kerja.
Outsourcing pada dunia modern dilakukan untuk alasan-alasan yang strategis,
yaitu memperoleh keunggulan kompetitif untuk menghadapi persaingan dalam rangka
mempertahankan pangsa pasar, menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan
perusahaan.
Outsourcing untuk meraih keunggulan
kompetitif ini dapat dilihat pada industri-industri mobil besar di dunia
seperti Nissan, Toyota dan Honda. Pada awalnya dalam proses produksi mobil,
core business nya terdiri dari pembuatan desain, pembuatan suku cadang dan
perakitan. Pada akhirnya yang menjadi core business hanyalah pembuatan desain
mobil sementara pembuatan suku cadang dan perakitan diserahkan pada perusahaan
lain yang lebih kompeten, sehingga perusahaan mobil tersebut bisa meraih
keunggulan kompetitif.
Dalam hal outsourcing yang berupa
penyediaan pekerja, dapat dilihat pada perkembangannya saat ini di Indonesia,
perusahaan besar seperti Citibank banyak melakukan outsource untuk
tenaga-tenaga ahli, sehingga interpretasi outsource tidak lagi hanya sekadar
untuk melakukan aktivitas-aktivitas penunjang seperti yang didefinisikan dalam
penjelasan UU No.13 tahun 2003. Untuk itu batasan pengertian core business
perlu disamakan lagi interpretasinya oleh berbagai kalangan. Pengaturan lebih
lanjut untuk hal-hal semacam ini belum diakomodir oleh peraturan
ketenagakerjaan di Indonesia.
Perusahaan dalam melakukan
perencanaan untuk melakukan outsourcing terhadap tenaga kerjanya,
mengklasifikasikan pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang ke dalam suatu
dokumen tertulis dan kemudian melaporkannya kepada instansi ketenagakerjaan
setempat.
Pembuatan dokumen tertulis penting
bagi penerapan outsourcing di perusahaan, karena alasan-alasan sebagai berikut
:
1. Sebagai bentuk kepatuhan perusahaan terhadap ketentuan tentang
ketenagakerjaan dengan melakukan pelaporan kepada Dinas Tenaga Kerja setempat;
2. Sebagai pedoman bagi manajemen dalam melaksanakan outsourcing pada
bagian-bagian tertentu di perusahaan;
3. Sebagai sarana sosialisasi kepada pihak pekerja tentang bagian-bagian mana
saja di perusahaan yang dilakukan outsourcing terhadap pekerjanya;
4. Meminimalkan risiko perselisihan dengan pekerja, serikat pekerja,
pemerintah serta pemegang saham mengenai keabsahan dan pengaturan tentang
outsourcing di Perusahaan.
V.
Perjanjian dalam Outsourcing
Hubungan kerjasama antara Perusahaan
outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing tentunya diikat dengan
suatu perjanjian tertulis. Perjanjian dalam outsourcing dapat berbentuk
perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh.
Perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi syarat sah
perjanjian seperti yang tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:
1. Sepakat, bagi para pihak
2. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Sebab yang halal
Perjanjian dalam outsourcing juga
tidak semata-mata hanya mendasarkan pada asas kebebasan berkontrak sesuai pasal
1338 KUH Perdata, namun juga harus memenuhi ketentuan ketenagakerjaan, yaitu UU
No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam penyediaan jasa pekerja, ada 2 tahapan perjanjian yang dilalui yaitu:
1. Perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia
pekerja/buruh
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian
pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau
perjanjian penyediaan jasa pekerja yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang
dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi
pekerjaan
c. merupakakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung
Dalam hal penempatan pekerja/buruh
maka perusahaan pengguna jasa pekerja akan membayar sejumlah dana (management
fee) pada perusahaan penyedia pekerja/buruh.
2. perjanjian perusahaan penyedia pekerja/buruh dengan karyawan
Penyediaan jasa pekerja atau buruh
untuk kegiatan penunjang perusahaan harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. adanya hubungan kerja antara pekerja atau buruh dan perusahaan penyedia
jasa pekerja atau buruh
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja adalah perjanjian kerja
untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan dan atau perjanjian kerja waktu
tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua pihak
c. perlindungan usaha dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja maupun
perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh.
Dengan adanya 2 (dua) perjanjian tersebut
maka walaupun karyawan sehari-hari bekerja di perusahaan pemberi pekerjaan
namun ia tetap berstatus sebagai karyawan perusahaan penyedia pekerja.
Pemenuhan hak-hak karyawan seperti perlindungan upah dan kesejahteraan,
syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul tetap merupakan tanggung
jawab perusahaan penyedia jasa pekerja.
Perjanjian kerja antara karyawan
dengan perusahaan outsourcing dapat berupa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) maupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Perjanjian kerja antara karyawan
outsourcing dengan perusahaan outsourcing biasanya mengikuti jangka waktu
perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna
jasa outsourcing. Hal ini dimaksudkan apabila perusahaan pengguna jasa outsourcing
hendak mengakhiri kerjasamanya dengan perusahaan outsourcing, maka pada waktu
yang bersamaan berakhir pula kontrak kerja antara karyawan dengan perusahaan
outsource. Bentuk perjanjian kerja yang lazim digunakan dalam outsourcing
adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Bentuk perjanjian kerja ini
dipandang cukup fleksibel bagi perusahaan pengguna jasa outsourcing, karena
lingkup pekerjaannya yang berubah-ubah sesuai dengan perkembangan perusahaan.
Karyawan outsourcing walaupun secara
organisasi berada di bawah perusahaan outsourcing, namun pada saat rekruitment,
karyawan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari pihak perusahaan pengguna
outsourcing. Apabila perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan
perusahaan pengguna jasa outsourcing berakhir, maka berakhir juga perjanjian
kerja antara perusahaan outsourcing dengan karyawannya.
VI. Hubungan Hukum antara Karyawan Outsourcing
(Alih Daya) dengan Perusahaan Pengguna Outsourcing
Hubungan hukum Perusahaan Outsourcing
dengan perusahaan pengguna outsourcing diikat dengan menggunakan Perjanjian
Kerjasama, dalam hal penyediaan dan pengelolaan pekerja pada bidang-bidang
tertentu yang ditempatkan dan bekerja pada perusahaan pengguna outsourcing.
Karyawan outsourcing menandatandatangani perjanjian kerja dengan perusahaan
outsourcing sebagai dasar hubungan ketenagakerjaannya. Dalam perjanjian kerja
tersebut disebutkan bahwa karyawan ditempatkan dan bekerja di perusahaan
pengguna outsourcing.
Dari hubungan kerja ini timbul suatu
permasalahan hukum, karyawan outsourcing dalam penempatannya pada perusahaan
pengguna outsourcing harus tunduk pada Peraturan Perusahaan (PP) atau
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berlaku pada perusahaan pengguna
oustourcing tersebut, sementara secara hukum tidak ada hubungan kerja antara
keduanya.
Hal yang mendasari mengapa karyawan
outsourcing harus tunduk pada peraturan perusahaan pemberi kerja adalah :
1. Karyawan tersebut bekerja di tempat/lokasi perusahaan pemberi kerja
2. Standard Operational Procedures (SOP) atau aturan kerja perusahaan pemberi
kerja harus dilaksanakan oleh karyawan, dimana semua hal itu tercantum dalam
peraturan perusahaan pemberi kerja
3. Bukti tunduknya karyawan adalah pada Memorandum of Understanding (MoU)
antara perusahaan outsource dengan perusahaan pemberi kerja, dalam hal yang
menyangkut norma-norma kerja, waktu kerja dan aturan kerja. Untuk benefit dan
tunjangan biasanya menginduk perusahaan outsource
Dalam hal terjadi pelanggaran yang
dilakukan pekerja, dalam hal ini tidak ada kewenangan dari perusahaan pengguna
jasa pekerja untuk melakukan penyelesaian sengketa karena antara perusahaan
pengguna jasa pekerja (user) dengan karyawan outsource secara hukum
tidak mempunyai hubungan kerja, sehingga yang berwenang untuk menyelesaikan
perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja, walaupun
peraturan yang dilanggar adalah peraturan perusahaan pengguna jasa pekerja.
Peraturan perusahaan berisi tentang
hak dan kewajiban antara perusahaan dengan karyawan outsourcing. Hak dan
kewajiban menggambarkan suatu hubungan hukum antara pekerja dengan perusahaan,
dimana kedua pihak tersebut sama-sama terikat perjanjian kerja yang disepakati
bersama. Sedangkan hubungan hukum yang ada adalah antara perusahaan Outsourcing
dengan perusahaan pengguna jasa, berupa perjanjian penyediaan pekerja.
Perusahaan pengguna jasa pekerja dengan karyawan tidak memiliki hubungan kerja
secara langsung, baik dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu maupun
perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Apabila ditinjau dari terminologi
hakikat pelaksanaan Peraturan Perusahaan, maka peraturan perusahaan dari
perusahaan pengguna jasa tidak dapat diterapkan untuk karyawan outsourcing karena
tidak adanya hubungan kerja. Hubungan kerja yang terjadi adalah hubungan kerja
antara karyawan outsourcing dengan perusahaan outsourcing, sehingga seharusnya
karyawan outsourcing menggunakan peraturan perusahaan outsourcing, bukan
peraturan perusahaan pengguna jasa pekerja.
Karyawan outsourcing yang ditempatkan
di perusahaan pengguna outsourcing tentunya secara aturan kerja dan disiplin
kerja harus mengikuti ketentuan yang berlaku pada perusahaan pengguna
outsourcing. Dalam perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan
perusahaan pengguna outsourcing harus jelas di awal, tentang ketentuan apa saja
yang harus ditaati oleh karyawan outsourcing selama ditempatkan pada perusahaan
pengguna outsourcing. Hal-hal yang tercantum dalam peraturan perusahaan
pengguna outsourcing sebaiknya tidak diasumsikan untuk dilaksanakan secara
total oleh karyawan outsourcing.
Misalkan masalah benefit, tentunya
ada perbedaan antara karyawan outsourcing dengan karyawan pada perusahaan
pengguna outsourcing. Hal-hal yang terdapat pada Peraturan Perusahaan yang
disepakati untuk ditaati, disosialisasikan kepada karyawan outsourcing oleh
perusahaan outsourcing. Sosialisasi ini penting untuk meminimalkan tuntutan
dari karyawan outsourcing yang menuntut dijadikan karyawan tetap pada
perusahaan pengguna jasa outsourcing, dikarenakan kurangnya informasi tentang
hubungan hukum antara karyawan dengan perusahaan pengguna outsourcing.
Perbedaan pemahaman tesebut pernah
terjadi pada PT Toyota Astra Motor, salah satu produsen mobil di Indonesia.
Dimana karyawan outsourcing khusus pembuat jok mobil Toyota melakukan unjuk rasa
serta mogok kerja untuk menuntut dijadikan karyawan PT Toyota Astra Motor. Hal
ini dikarenakan kurangnya sosialisasi mengenai status hubungan hukum mereka
dengan PT Toyota Astra Motor selaku perusahaan pengguna outsourcing.
VII. Penyelesaian Perselisihan dalam Outsourcing
Dalam pelaksanaan outsourcing
berbagai potensi perselisihan mungkin timbul, misalnya berupa pelanggaran
peraturan perusahaan oleh karyawan maupun adanya perselisihan antara karyawan
outsource dengan karyawan lainnya. Menurut pasal 66 ayat (2) huruf c UU No.13
Tahun 2003, penyelesaian perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab
perusahaan penyedia jasa pekerja. Jadi walaupun yang dilanggar oleh karyawan
outsource adalah peraturan perusahaan pemberi pekerjaan, yang berwenang
menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja.
Dalam hal ini perusahaan outsource
harus bisa menempatkan diri dan bersikap bijaksana agar bisa mengakomodir
kepentingan karyawan, maupun perusahaan pengguna jasa pekerja, mengingat
perusahaan pengguna jasa pekerja sebenarnya adalah pihak yang lebih mengetahui
keseharian performa karyawan, daripada perusahaan outsource itu sendiri. Ada
baiknya perusahaan outsource secara berkala mengirim pewakilannya untuk
memantau para karyawannya di perusahaan pengguna jasa pekerja sehingga potensi
konflik bisa dihindari dan performa kerja karyawan bisa terpantau dengan baik.
D.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Outsourcing sebagai suatu penyediaan tenaga kerja oleh pihak lain dilakukan dengan terlebih dahulu memisahkan antara pekerjaan utama (core business) dengan pekerjaan penunjang perusahaan (non core business) dalam suatu dokumen tertulis yang disusun oleh manajemen perusahaan. Dalam melakukan outsourcing perusahaan pengguna jasa outsourcing bekerjasama dengan perusahaan outsourcing, dimana hubungan hukumnya diwujudkan dalam suatu perjanjian kerjasama yang memuat antara lain tentang jangka waktu perjanjian serta bidang-bidang apa saja yang merupakan bentuk kerjasama outsourcing. Karyawan outsourcing menandatangani perjanjian kerja dengan perusahaan outsourcing untuk ditempatkan di perusahaan pengguna outsourcing.
Outsourcing sebagai suatu penyediaan tenaga kerja oleh pihak lain dilakukan dengan terlebih dahulu memisahkan antara pekerjaan utama (core business) dengan pekerjaan penunjang perusahaan (non core business) dalam suatu dokumen tertulis yang disusun oleh manajemen perusahaan. Dalam melakukan outsourcing perusahaan pengguna jasa outsourcing bekerjasama dengan perusahaan outsourcing, dimana hubungan hukumnya diwujudkan dalam suatu perjanjian kerjasama yang memuat antara lain tentang jangka waktu perjanjian serta bidang-bidang apa saja yang merupakan bentuk kerjasama outsourcing. Karyawan outsourcing menandatangani perjanjian kerja dengan perusahaan outsourcing untuk ditempatkan di perusahaan pengguna outsourcing.
Karyawan outsourcing selama ditempatkan diperusahaan pengguna jasa
outsourcing wajib mentaati ketentuan kerja yang berlaku pada perusahaan
outsourcing, dimana hal itu harus dicantumkan dalam perjanjian kerjasama.
Mekanisme Penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan diselesaikan secara
internal antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing,
dimana perusahaan outsourcing seharusnya mengadakan pertemuan berkala dengan
karyawannya untuk membahas masalah-masalah ketenagakerjaan yang terjadi dalam
pelaksanaan outsourcing.
Dewasa ini outsourcing sudah menjadi trend dan
kebutuhan dalam dunia usaha, namun pengaturannya masih belum memadai. Sedapat
mungkin segala kekurangan pengaturan outsourcing dapat termuat dalam revisi UU
Ketenagakerjaan yang sedang dipersiapkan dan peraturan pelaksanaanya, sehingga
dapat mengakomodir kepentingan pengusaha dan melindungi kepentingan pekerja.
Upah minimum regional ( UMR ) adalah merupakan
jaring pengaman bagi pekerja agar upah yang diterimanya tidak dibawah upah
minimum regional / daerah dan bagi
pengusaha upah minimum regional ( UMR ) adalah merupakan standard dalam menentukan upah
pekerja yang telah bekerja lebih dari 1 tahun.
Masih kurangnya sarana dan prasarana dalam
mensosialisasikan Undang – undang Ketenagakerjaan khususnya pengupahan.
Saran
Sebaiknya perusahaan membayar upah terhadap pekerja minimal sesuai dengan upah
minimum kota ( UMK ) atau Upah Minimum Regional (UMR). Selain itu
alangkah baiknya bila sarana dan prasarana
dalam mensosialisasikan Undang – undang Ketenagakerjaan dapat dipenuhi sesuai
dengan kebutuhan.
No comments:
Post a Comment