Saturday, January 26, 2013

OUTSOURCING, SERIKAT PEKERJA DAN PENGELOLAAN TENAGA KERJA PADA PERUSAHAAN


A.             R E S U M E   A R T I K E L

Serikat Pekerja Somasi Pemkab Banyuwangi
Penulis : Siwi Yunita Cahyaningrum | Selasa, 24 Januari 2012 | 13:39 WIB
Description: http://stat.k.kidsklik.com/data/2k10/kompascom2011/images/icon_dibaca.gif
BANYUWANGI, KOMPAS.com — Gerakan Buruh dan Rakyat untuk Keadilan (Gebrak) menyomasi Pemerintah Kabupaten Banyuwangi karena merekrut pekerja kontrak dan outsourcing dengan upah di bawah UMR.
Muhammad Helmi Rosyadi, Koordinator Gebrak, Selasa (24/1/2012), mengatakan, Pemkab Banyuwangi melanggar Pasal 90 Ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juncto Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 81 Tahun 2011 tentang Upah Minimum Kabupaten Kota 2012.
Para pekerja yang berjumlah 554 itu hanya dibayar Rp 500.000 per bulan. Sebanyak 456 ditempatkan sebagai tenaga kebersihan dan 98 orang sebagai Satpol PP.
"Ini merugikan kaum buruh seperti kami. Seharusnya pemkab memberi upah sesuai UMR yang berlaku yakni Rp 915.000 sebulan," katanya.
Menurut Helmi, jika tak segera memenuhi tuntutan itu, pihaknya akan menggugat pemkab ke Pengadilan Negeri Banyuwangi atas perbuatan melawan hukum. 
Editor :
Robert Adhi Ksp














B.      RUMUSAN MASALAH

1.    Bagaimana Pengaturan Outsourcing dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan?
2.    Bagaimana Penentuan Pekerjaan Utama (Core Business) dan Pekerjaan Penunjang (Non Core Business) dalam Perusahaan sebagai Dasar Pelaksanaan Outsourcing?
3.    Apa sajakah bentuk-bentuk perjanjian dalam Outsourcing?
4.    Hubungan Hukum seperti apa yang ada antara Karyawan Outsourcing dengan Perusahaan Pengguna Outsourcing?
5.    Bagaimana penyelesaian Perselisihan dalam Outsourcing?































C.      ANALISA

I.     Pendahuluan
Persaingan dalam dunia bisnis antar perusahaan membuat perusahaan harus berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk dan jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Dengan adanya konsentrasi terhadap kompetensi utama dari perusahaan, akan dihasilkan sejumlah produk dan jasa memiliki kualitas yang memiliki daya saing di pasaran.
Dalam iklim persaingan usaha yang makin ketat, perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production). Salah satu solusinya adalah dengan sistem outsourcing, dimana dengan sistem ini perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Outsourcing diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak.
Outsourcing dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja. pengaturan hukum outsourcing di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (pasal 64, 65 dan 66) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (Kepmen 101/2004).Pengaturan tentang outsourcing(Alih Daya) ini sendiri masih dianggap pemerintah kurang lengkap.
Dalam Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang paket Kebijakan Iklim Investasi disebutkan bahwa outsourcing sebagai salah satu faktor yang harus diperhatikan dengan serius dalam menarik iklim investasi ke Indonesia. Bentuk keseriusan pemerintah tersebut dengan menugaskan menteri tenaga kerja untuk membuat draft revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Outsourcing tidak dapat dipandang secara jangka pendek saja, dengan menggunakan outsourcing perusahaan pasti akan mengeluarkan dana lebih sebagai management fee perusahaan outsourcing. Outsourcing harus dipandang secara jangka panjang, mulai dari pengembangan karir karyawan, efisiensi dalam bidang tenaga kerja, organisasi, benefit dan lainnya. Perusahaan dapat fokus pada kompetensi utamanya dalam bisnis sehingga dapat berkompetisi dalam pasar, dimana hal-hal intern perusahaan yang bersifat penunjang (supporting) dialihkan kepada pihak lain yang lebih profesional. Pada pelaksanaannya, pengalihan ini juga menimbulkan beberapa permasalahan terutama masalah ketenagakerjaan.
Problematika mengenai outsourcing memang cukup bervariasi. Hal ini dikarenakan penggunaan outsourcing dalam dunia usaha di Indonesia kini semakin marak dan telah menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda oleh pelaku usaha, sementara regulasi yang ada belum terlalu memadai untuk tentang outsourcing yang telah berjalan tersebut. Secara garis besar permasalahan hukum yang terkait dengan penerapan outsourcing di Indonesia sebagai berikut:
1.       Bagaimana perusahaan melakukan klasifikasi terhadap pekerjaan utama (core business) dan pekerjaan penunjang perusahaan (non core bussiness) yang merupakan dasar dari pelaksanaan outsourcing?
2.       Bagaimana hubungan hukum antara karyawan outsourcing dan perusahaan pengguna jasa outsourcing?
3.       Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa bila ada karyawan outsource yang melanggar aturan kerja pada lokasi perusahaan pemberi kerja?

II.    Definisi Outsourcing
Dalam pengertian umum, istilah outsourcing diartikan sebagai contract (work) out seperti yang tercantum dalam Concise Oxford Dictionary, sementara mengenai kontrak itu sendiri diartikan sebagai berikut:
 “ Contract to enter into or make a contract. From the latin contractus, the past participle of contrahere, to draw together, bring about or enter into an agreement.” (Webster’s English Dictionary)
Pengertian outsourcing secara khusus didefinisikan oleh Maurice F Greaver II, pada bukunya Strategic Outsourcing, A Structured Approach to Outsourcing: Decisions and Initiatives, dijabarkan sebagai berikut :
“Strategic use of outside parties to perform activities, traditionally handled by internal staff and respurces.”
Menurut definisi Maurice Greaver, Outsourcing dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside provider), dimana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak kerjasama
Beberapa pakar serta praktisi outsourcing dari Indonesia juga memberikan definisi mengenai outsourcing, antara lain menyebutkan bahwa outsourcing dalam bahasa Indonesia disebut sebagai alih daya, adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan jasa outsourcing). Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Muzni Tambusai, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang mendefinisikan pengertian outsourcing sebagai memborongkan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut sebagai penerima pekerjaan.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, terdapat persamaan dalam memandang outsourcing yaitu terdapat penyerahan sebagian kegiatan perusahaan pada pihak lain.

III.    Pengaturan Outsourcing dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai dasar hukum diberlakukannya outsourcing di Indonesia, membagi outsourcing menjadi dua bagian, yaitu:
Pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh. Pada perkembangannya dalam draft revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan outsourcing mengenai pemborongan pekerjaan dihapuskan, karena lebih condong ke arah sub contracting pekerjaan dibandingkan dengan tenaga kerja.
Untuk mengkaji hubungan hukum antara karyawan outsourcing dengan perusahaan pemberi pekerjaan, akan diuraikan terlebih dahulu secara garis besar pengaturan outsourcing dalam UU No.13 tahun 2003.
Dalam UU No.13/2003, yang menyangkut outsourcing adalah pasal 64, pasal 65 (terdiri dari 9 ayat), dan pasal 66 (terdiri dari 4 ayat).

Pasal 64 adalah dasar dibolehkannya outsourcing. Dalam pasal 64 dinyatakan bahwa: Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.”

Pasal 65 memuat beberapa ketentuan diantaranya adalah:
·         penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis (ayat 1);
·         pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, seperti yang dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
- dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama
- dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan
- merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan
- tidak menghambat proses produksi secara langsung. (ayat 2)
·         perusahaan lain (yang diserahkan pekerjaan) harus berbentuk badan hukum (ayat 3);
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan lain sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangan (ayat 4);
·         perubahan atau penambahan syarat-syarat tersebut diatas diatur lebih lanjut dalam keputusan menteri (ayat 5);
·         hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan diatur dalam perjanjian tertulis antara perusahaan lain dan pekerja yang dipekerjakannya (ayat 6)
·         hubungan kerja antara perusahaan lain dengan pekerja/buruh dapat didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (ayat 7);
·         bila beberapa syarat tidak terpenuhi, antara lain, syarat-syarat mengenai pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, dan syarat yang menentukan bahwa perusahaan lain itu harus berbadan hukum, maka hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan (ayat 8).

Pasal 66 UU Nomor 13 tahun 2003 mengatur bahwa pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Perusahaan penyedia jasa untuk tenaga kerja yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi juga harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:
·         adanya hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja
·         perjanjian kerja yang berlaku antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu atau tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak
·         perlindungan upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
·         perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis.
Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Dalam hal syarat-syarat diatas tidak terpenuhi (kecuali mengenai ketentuan perlindungan kesejahteraan), maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.

IV.  Penentuan Pekerjaan Utama (Core Business) dan Pekerjaan Penunjang (Non Core Business) dalam Perusahaan sebagai Dasar Pelaksanaan Outsourcing
Berdasarkan pasal 66 UU No.13 Tahun 2003 outsourcing dibolehkan hanya untuk kegiatan penunjang, dan kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
R.Djokopranoto dalam materi seminarnya menyampaikan bahwa :
“Dalam teks UU no 13/2003 tersebut disebut dan dibedakan antara usaha atau kegiatan pokok dan kegiatan penunjang. Ada persamaan pokok antara bunyi UU tersebut dengan praktek industri, yaitu bahwa yang di outsource umumnya (tidak semuanya) adalah kegiatan penunjang (non core business), sedangkan kegiatan pokok (core business) pada umumnya (tidak semuanya) tetap dilakukan oleh perusahaan sendiri. Namun ada potensi masalah yang timbul. Potensi masalah yang timbul adalah apakah pembuat dan penegak undang-undang di satu pihak dan para pengusaha dan industriawan di lain pihak mempunyai pengertian dan interpretasi yang sama mengenai istilah-istilah tersebut.”
Kesamaan interpretasi ini penting karena berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan outsourcing hanya dibolehkan jika tidak menyangkut core business. Dalam penjelasan pasal 66 UU No.13 tahun 2003, disebutkan bahwa :
”Yang dimaksud dengan kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan.Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.”
Interpretasi yang diberikan undang-undang masih sangat terbatas dibandingkan dengan kebutuhan dunia usaha saat ini dimana penggunaan outsourcing semakin meluas ke berbagai lini kegiatan perusahaan.
Konsep dan pengertian usaha pokok atau core business dan kegiatan penunjang atau non core business adalah konsep yang berubah dan berkembang secara dinamis. Oleh karena itu tidak heran kalau Alexander dan Young (1996) mengatakan bahwa ada empat pengertian yang dihubungkan dengan core activity atau core business. Keempat pengertian itu ialah :
·         Kegiatan yang secara tradisional dilakukan di dalam perusahaan.
·         Kegiatan yang bersifat kritis terhadap kinerja bisnis.
·         Kegiatan yang menciptakan keunggulan kompetitif baik sekarang maupun di waktu yang akan datang.
·         Kegiatan yang akan mendorong pengembangan yang akan datang, inovasi, atau peremajaan kembali.
Interpretasi kegiatan penunjang yang tercantum dalam penjelasan UU No.13 tahun 2003 condong pada definisi yang pertama, dimana outsourcing dicontohkan dengan aktivitas berupa pengontrakan biasa untuk memudahkan pekerjaan dan menghindarkan masalah tenaga kerja. Outsourcing pada dunia modern dilakukan untuk alasan-alasan yang strategis, yaitu memperoleh keunggulan kompetitif untuk menghadapi persaingan dalam rangka mempertahankan pangsa pasar, menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan.
Outsourcing untuk meraih keunggulan kompetitif ini dapat dilihat pada industri-industri mobil besar di dunia seperti Nissan, Toyota dan Honda. Pada awalnya dalam proses produksi mobil, core business nya terdiri dari pembuatan desain, pembuatan suku cadang dan perakitan. Pada akhirnya yang menjadi core business hanyalah pembuatan desain mobil sementara pembuatan suku cadang dan perakitan diserahkan pada perusahaan lain yang lebih kompeten, sehingga perusahaan mobil tersebut bisa meraih keunggulan kompetitif.
Dalam hal outsourcing yang berupa penyediaan pekerja, dapat dilihat pada perkembangannya saat ini di Indonesia, perusahaan besar seperti Citibank banyak melakukan outsource untuk tenaga-tenaga ahli, sehingga interpretasi outsource tidak lagi hanya sekadar untuk melakukan aktivitas-aktivitas penunjang seperti yang didefinisikan dalam penjelasan UU No.13 tahun 2003. Untuk itu batasan pengertian core business perlu disamakan lagi interpretasinya oleh berbagai kalangan. Pengaturan lebih lanjut untuk hal-hal semacam ini belum diakomodir oleh peraturan ketenagakerjaan di Indonesia.
Perusahaan dalam melakukan perencanaan untuk melakukan outsourcing terhadap tenaga kerjanya, mengklasifikasikan pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang ke dalam suatu dokumen tertulis dan kemudian melaporkannya kepada instansi ketenagakerjaan setempat.
Pembuatan dokumen tertulis penting bagi penerapan outsourcing di perusahaan, karena alasan-alasan sebagai berikut :
1.       Sebagai bentuk kepatuhan perusahaan terhadap ketentuan tentang ketenagakerjaan dengan melakukan pelaporan kepada Dinas Tenaga Kerja setempat;
2.       Sebagai pedoman bagi manajemen dalam melaksanakan outsourcing pada bagian-bagian tertentu di perusahaan;
3.       Sebagai sarana sosialisasi kepada pihak pekerja tentang bagian-bagian mana saja di perusahaan yang dilakukan outsourcing terhadap pekerjanya;
4.       Meminimalkan risiko perselisihan dengan pekerja, serikat pekerja, pemerintah serta pemegang saham mengenai keabsahan dan pengaturan tentang outsourcing di Perusahaan.

V.    Perjanjian dalam Outsourcing
Hubungan kerjasama antara Perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing tentunya diikat dengan suatu perjanjian tertulis. Perjanjian dalam outsourcing dapat berbentuk perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh. Perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi syarat sah perjanjian seperti yang tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:
1.       Sepakat, bagi para pihak
2.       Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan
3.       Suatu hal tertentu
4.       Sebab yang halal
Perjanjian dalam outsourcing juga tidak semata-mata hanya mendasarkan pada asas kebebasan berkontrak sesuai pasal 1338 KUH Perdata, namun juga harus memenuhi ketentuan ketenagakerjaan, yaitu UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam penyediaan jasa pekerja, ada 2 tahapan perjanjian yang dilalui yaitu:
1.       Perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia pekerja/buruh
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.       dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama
b.      dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan
c.       merupakakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan
d.      tidak menghambat proses produksi secara langsung
Dalam hal penempatan pekerja/buruh maka perusahaan pengguna jasa pekerja akan membayar sejumlah dana (management fee) pada perusahaan penyedia pekerja/buruh.
2.       perjanjian perusahaan penyedia pekerja/buruh dengan karyawan
Penyediaan jasa pekerja atau buruh untuk kegiatan penunjang perusahaan harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a.       adanya hubungan kerja antara pekerja atau buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja atau buruh
b.      perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan dan atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua pihak
c.       perlindungan usaha dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja maupun perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Dengan adanya 2 (dua) perjanjian tersebut maka walaupun karyawan sehari-hari bekerja di perusahaan pemberi pekerjaan namun ia tetap berstatus sebagai karyawan perusahaan penyedia pekerja. Pemenuhan hak-hak karyawan seperti perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul tetap merupakan tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja.
Perjanjian kerja antara karyawan dengan perusahaan outsourcing dapat berupa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Perjanjian kerja antara karyawan outsourcing dengan perusahaan outsourcing biasanya mengikuti jangka waktu perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing. Hal ini dimaksudkan apabila perusahaan pengguna jasa outsourcing hendak mengakhiri kerjasamanya dengan perusahaan outsourcing, maka pada waktu yang bersamaan berakhir pula kontrak kerja antara karyawan dengan perusahaan outsource. Bentuk perjanjian kerja yang lazim digunakan dalam outsourcing adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Bentuk perjanjian kerja ini dipandang cukup fleksibel bagi perusahaan pengguna jasa outsourcing, karena lingkup pekerjaannya yang berubah-ubah sesuai dengan perkembangan perusahaan.
Karyawan outsourcing walaupun secara organisasi berada di bawah perusahaan outsourcing, namun pada saat rekruitment, karyawan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari pihak perusahaan pengguna outsourcing. Apabila perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing berakhir, maka berakhir juga perjanjian kerja antara perusahaan outsourcing dengan karyawannya.

VI.  Hubungan Hukum antara Karyawan Outsourcing (Alih Daya) dengan Perusahaan Pengguna Outsourcing
Hubungan hukum Perusahaan Outsourcing dengan perusahaan pengguna outsourcing diikat dengan menggunakan Perjanjian Kerjasama, dalam hal penyediaan dan pengelolaan pekerja pada bidang-bidang tertentu yang ditempatkan dan bekerja pada perusahaan pengguna outsourcing. Karyawan outsourcing menandatandatangani perjanjian kerja dengan perusahaan outsourcing sebagai dasar hubungan ketenagakerjaannya. Dalam perjanjian kerja tersebut disebutkan bahwa karyawan ditempatkan dan bekerja di perusahaan pengguna outsourcing.
Dari hubungan kerja ini timbul suatu permasalahan hukum, karyawan outsourcing dalam penempatannya pada perusahaan pengguna outsourcing harus tunduk pada Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berlaku pada perusahaan pengguna oustourcing tersebut, sementara secara hukum tidak ada hubungan kerja antara keduanya.
Hal yang mendasari mengapa karyawan outsourcing harus tunduk pada peraturan perusahaan pemberi kerja adalah :
1.       Karyawan tersebut bekerja di tempat/lokasi perusahaan pemberi kerja
2.       Standard Operational Procedures (SOP) atau aturan kerja perusahaan pemberi kerja harus dilaksanakan oleh karyawan, dimana semua hal itu tercantum dalam peraturan perusahaan pemberi kerja
3.       Bukti tunduknya karyawan adalah pada Memorandum of Understanding (MoU) antara perusahaan outsource dengan perusahaan pemberi kerja, dalam hal yang menyangkut norma-norma kerja, waktu kerja dan aturan kerja. Untuk benefit dan tunjangan biasanya menginduk perusahaan outsource
Dalam hal terjadi pelanggaran yang dilakukan pekerja, dalam hal ini tidak ada kewenangan dari perusahaan pengguna jasa pekerja untuk melakukan penyelesaian sengketa karena antara perusahaan pengguna jasa pekerja (user) dengan karyawan outsource secara hukum tidak mempunyai hubungan kerja, sehingga yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja, walaupun peraturan yang dilanggar adalah peraturan perusahaan pengguna jasa pekerja.
Peraturan perusahaan berisi tentang hak dan kewajiban antara perusahaan dengan karyawan outsourcing. Hak dan kewajiban menggambarkan suatu hubungan hukum antara pekerja dengan perusahaan, dimana kedua pihak tersebut sama-sama terikat perjanjian kerja yang disepakati bersama. Sedangkan hubungan hukum yang ada adalah antara perusahaan Outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa, berupa perjanjian penyediaan pekerja. Perusahaan pengguna jasa pekerja dengan karyawan tidak memiliki hubungan kerja secara langsung, baik dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Apabila ditinjau dari terminologi hakikat pelaksanaan Peraturan Perusahaan, maka peraturan perusahaan dari perusahaan pengguna jasa tidak dapat diterapkan untuk karyawan outsourcing karena tidak adanya hubungan kerja. Hubungan kerja yang terjadi adalah hubungan kerja antara karyawan outsourcing dengan perusahaan outsourcing, sehingga seharusnya karyawan outsourcing menggunakan peraturan perusahaan outsourcing, bukan peraturan perusahaan pengguna jasa pekerja.
Karyawan outsourcing yang ditempatkan di perusahaan pengguna outsourcing tentunya secara aturan kerja dan disiplin kerja harus mengikuti ketentuan yang berlaku pada perusahaan pengguna outsourcing. Dalam perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna outsourcing harus jelas di awal, tentang ketentuan apa saja yang harus ditaati oleh karyawan outsourcing selama ditempatkan pada perusahaan pengguna outsourcing. Hal-hal yang tercantum dalam peraturan perusahaan pengguna outsourcing sebaiknya tidak diasumsikan untuk dilaksanakan secara total oleh karyawan outsourcing.
Misalkan masalah benefit, tentunya ada perbedaan antara karyawan outsourcing dengan karyawan pada perusahaan pengguna outsourcing. Hal-hal yang terdapat pada Peraturan Perusahaan yang disepakati untuk ditaati, disosialisasikan kepada karyawan outsourcing oleh perusahaan outsourcing. Sosialisasi ini penting untuk meminimalkan tuntutan dari karyawan outsourcing yang menuntut dijadikan karyawan tetap pada perusahaan pengguna jasa outsourcing, dikarenakan kurangnya informasi tentang hubungan hukum antara karyawan dengan perusahaan pengguna outsourcing.
Perbedaan pemahaman tesebut pernah terjadi pada PT Toyota Astra Motor, salah satu produsen mobil di Indonesia. Dimana karyawan outsourcing khusus pembuat jok mobil Toyota melakukan unjuk rasa serta mogok kerja untuk menuntut dijadikan karyawan PT Toyota Astra Motor. Hal ini dikarenakan kurangnya sosialisasi mengenai status hubungan hukum mereka dengan PT Toyota Astra Motor selaku perusahaan pengguna outsourcing.

VII.  Penyelesaian Perselisihan dalam Outsourcing
Dalam pelaksanaan outsourcing berbagai potensi perselisihan mungkin timbul, misalnya berupa pelanggaran peraturan perusahaan oleh karyawan maupun adanya perselisihan antara karyawan outsource dengan karyawan lainnya. Menurut pasal 66 ayat (2) huruf c UU No.13 Tahun 2003, penyelesaian perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja. Jadi walaupun yang dilanggar oleh karyawan outsource adalah peraturan perusahaan pemberi pekerjaan, yang berwenang menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja.
Dalam hal ini perusahaan outsource harus bisa menempatkan diri dan bersikap bijaksana agar bisa mengakomodir kepentingan karyawan, maupun perusahaan pengguna jasa pekerja, mengingat perusahaan pengguna jasa pekerja sebenarnya adalah pihak yang lebih mengetahui keseharian performa karyawan, daripada perusahaan outsource itu sendiri. Ada baiknya perusahaan outsource secara berkala mengirim pewakilannya untuk memantau para karyawannya di perusahaan pengguna jasa pekerja sehingga potensi konflik bisa dihindari dan performa kerja karyawan bisa terpantau dengan baik.

























D.      KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan

Outsourcing sebagai suatu penyediaan tenaga kerja oleh pihak lain dilakukan dengan terlebih dahulu memisahkan antara pekerjaan utama (core business) dengan pekerjaan penunjang perusahaan (non core business) dalam suatu dokumen tertulis yang disusun oleh manajemen perusahaan. Dalam melakukan outsourcing perusahaan pengguna jasa outsourcing bekerjasama dengan perusahaan outsourcing, dimana hubungan hukumnya diwujudkan dalam suatu perjanjian kerjasama yang memuat antara lain tentang jangka waktu perjanjian serta bidang-bidang apa saja yang merupakan bentuk kerjasama outsourcing. Karyawan outsourcing menandatangani perjanjian kerja dengan perusahaan outsourcing untuk ditempatkan di perusahaan pengguna outsourcing.
Karyawan outsourcing selama ditempatkan diperusahaan pengguna jasa outsourcing wajib mentaati ketentuan kerja yang berlaku pada perusahaan outsourcing, dimana hal itu harus dicantumkan dalam perjanjian kerjasama. Mekanisme Penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan diselesaikan secara internal antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing, dimana perusahaan outsourcing seharusnya mengadakan pertemuan berkala dengan karyawannya untuk membahas masalah-masalah ketenagakerjaan yang terjadi dalam pelaksanaan outsourcing.
Dewasa ini outsourcing sudah menjadi trend dan kebutuhan dalam dunia usaha, namun pengaturannya masih belum memadai. Sedapat mungkin segala kekurangan pengaturan outsourcing dapat termuat dalam revisi UU Ketenagakerjaan yang sedang dipersiapkan dan peraturan pelaksanaanya, sehingga dapat mengakomodir kepentingan pengusaha dan melindungi kepentingan pekerja.
Upah minimum regional ( UMR ) adalah merupakan jaring pengaman bagi pekerja agar upah yang diterimanya tidak dibawah upah minimum regional / daerah dan bagi pengusaha upah minimum regional ( UMR ) adalah merupakan standard dalam menentukan upah pekerja yang telah bekerja lebih dari 1 tahun.
Masih kurangnya sarana dan prasarana dalam mensosialisasikan Undang – undang Ketenagakerjaan khususnya pengupahan.




Saran
Sebaiknya perusahaan membayar upah terhadap pekerja minimal sesuai dengan upah minimum kota ( UMK ) atau Upah Minimum Regional (UMR). Selain itu alangkah baiknya bila sarana dan prasarana dalam mensosialisasikan Undang – undang Ketenagakerjaan dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan.

No comments:

Post a Comment